Friday, 13 March 2015

PENGARUH PERBEDAAN TERAPI LATIHAN OPEN CHAIN EXERCISE DAN CLOSE CHAIN EXERCISE TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA OSTEOARTHRITIS LUTUT GRADE II





PENGARUH PERBEDAAN TERAPI LATIHAN OPEN CHAIN EXERCISE DAN CLOSE CHAIN EXERCISE TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA OSTEOARTHRITIS LUTUT GRADE II


Description: UMS

                        

BAB I
A.    Latar Belakang
Penyakit persendian yang sering terjadi dan tidak dapat disembuhkan, yaitu osteoartritis (OA), merupakan penyebab utama kecacatan pada golongan lanjut usia. Walaupun sendi manapun dapat terkena, OA paling sering mengenai sendi lutut, terutama sisi dalam dari sendi tibiofemoral.

            Salah satu sumber stres pada bagian sendi yang rapuh ini adalah saat lutut melakukan gerakan adduksi (gerakan yang menjauhi garis tengah tubuh). Peningkatan 20% puncak gerakan adduksi lutut dihubungkan dengan peningkatan risiko progresifitas OA lutut sebanyak 6 kali lipat atau lebih selama > 6 tahun.(wawan, 2008)
Setiap orang pasti pernah mengalami nyeri sendi. Masyarakat awam dan bahkan beberapa dokter (secara keliru) langsung beranggapan karena disebabkan oleh rematik atau asam urat.Sebagian lagi berpikir akibat osteoporosis. Namun kenyataannya penyebab utamanya nyeri sendi (khususnya yang dialami oleh yang berusia lebih dari 45 tahun) adalah osteoartritis. Penyebab osteoartritis bermacam-macam. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara osteoarthritis dengan reaksi alergi, infeksi, dan invasi fungi (mikosis). Riset lain juga menunjukkan adanya fakto keturunan (genetik) yang terlibat dalam penurunan penyakit ini. Namun demikian beberapa faktor risiko terjadinya osteoartritis adalah Wanita berusia lebih dari 45 tahun, Kelebihan berat badan, Aktivitas fisik yang berlebihan, seperti para olahragawan dan pekerja kasar, Menderita kelemahan otot paha, Pernah mengalami patah tulang disekitar sendi yang tidak mendapatkan perawatan yang tepat. (Wikipedia bahasa Indonesia,2010)
Di Indonesia, prevalensi osteoarthtritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, 65% pada usia >61 tahun. Untuk osteoarthtritis lutut prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita.
Diagnosis osteoarthtritis biasanyua didasarkan pada anamnbesis yaitu riwayat penyakit, gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan radiologis. Anamnesis terhadap pasien osteoarthritis lutut umumnya mengungkapkan keluhan-keluhan yang sudah lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Keluhan-keluhan pasien meliputi nyeri sendi yang merupakan keluhan utama yang membawa pasien ke dokter, hambatan gerakan sendi, kaku pagi yang timbul setelah immobilitas, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan.
Hambatan gerak yang seringkali sudah ada meskipun secara radiologist masih berada pada derajat awal dapat diemukan pada pemeriksaan fisik. Selain itu dapat ditemukan adanya krepitasi, pembengkakan sendi yang sering kali asimetris, nyeri tekan tulang, dan teraba hangat pada kulit.
Sedangkan gambaran berupa penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris, peningkatan densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi dan perubahan struktur anatomi sendi dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologist yang menggunakan pemeriksaan foto polos.
Salah satu penatalaksanan konservatif terhadap osteoarthritis lutut adalah terapi latihan dengan tujuan memperbaiki kinerja, meningkatkan fungsi, meningkatkan kekuatan otot lokal dan ketahanan, meningkatkan kemampuan relaksasi otot secara tepat, meningkatkan kebugaran umum, yang semuanya berperan dalam kapasitas fungsional. Dengan latihan diharapkan sendi dapat berfungsi sesuai dengan biomekanismenya sehingga dapat mengatasi nyeri, kecacatan fisik seperti keterbatasan gerak sendi, atrofi otot, kelemahan otot, pola jalan yang tidak efisien dengan energi yang besar, perubahan respon pembebanan sendi, semuanya dapat menghambat atau menurunkan aktivitas pasien. Meskipun terapi latihan tidak dapat menghentikan proses degenerasi akan tetapi diharapkan dapat menghambat progresifitasnya, meringankan gejala yang timbul, mencegah komplilkasi yang terjadi akibat proses degeneratif, yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi latihan yang penting tidak menyebabkan pembebanan sendi lutut yang berlebihan akibat Weigh bearing penuh (Jones, 1996).
  1. Identifikasi Masalah
  1. Banyaknya penderita yang mengeluhkan nyeri dan sakit pada daerah lutut
  2. Adanya hambatan gerak yang dapat membatasi gerak penderita


  1. Pembatasan Masalah
Dari berbagai masalah yang timbul akibat kaki osteoarthritis  maka, penulis dalam penelitian ini mengambil permasalahan mengenai  pengaruh perbedaan terapi latihan open chain exercise dan close chain exercise terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis lutut grade II.
  1. Rumusan Masalah
     Dari latar belakang yang ada, berikut ini adalah beberapa masalah yang akan       diteliti:
  1. Bagaimanakah pengaruh open chain exercise terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis lutut grade II.
  2. Bagaimanakah pengaruh close chain exercise terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis lutut grade II.
  3. Apakah ada perbedaan tingkat efektifitas antara open chain exercise dan close chain exercise terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis lutut grade II.



  1. Tujuan Penelitian
      Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi latihan open chain exercise dan close chain exercise terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis lutut grade II.

  1. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
  1. Sebagai langkah untuk mengurangi rasa nyeri dan sakit pada penderita osteoarthritis
  2. Sebagai pengetahuan bagi penderita osteoarthritis untuk melakukan latihan mandiri.






BAB II
KERANGKA TEORI DAN HIPOTESA

A.    Deskripsi Teori
1.      Anatomi Fungsional Sendi Lutut
a.       Sistem Tulang
Tulang yang membentuk sendi lutut antara lain : os femur, os tibia, os fibula, dan os patella.
1)                                                      Os Femur
Tulang femur merupakan tulang panjang yang bersendi keatas dengan acetabulum dan ke bawah dengan tulang tibia. Tulang femur terdiri dari epiphysis proximal, diaphysis, dan epiphysis distalis.
Epiphysis merupakan sepasang bulatan yang disebut condilus lateralis dan medialis. Di bagian proximal tonjolan tersebut terdapat bulatan kecil yang disebut epycondilus lateralis dan medialis.
Di lihat dari depan, terdapat dataran sendi–sendi yang melebar ke lateral yang disebit facies patellaris yang nantinya bersendi dengan tulang patella. Dan di lihat dari belakang, diantara condylus femoralis lateralis dan condylus lateralis medialis terdapat cekungan disebut fossa intercondyloidea yang bagian proximalnya terdapat garis yang disebut linea intercondyloidea. Sedangkan epiphysis proximal membentuk bulatan 2/3 bagian bagian bola tersebut disebut caput femoralis yang mempunyai facies articulair untuk bersendi dengan acetabulum.
Diaphysis merupakan bagian yang panjang yang disebut corpus. Penampang melintang merupakan segitiga dengan basis menghadap ke depan. Diaphysis mempunyai 3 dataran yaitu facies medialis, facies lateralis, dan fasies anterior (Susilowati, 2002).
2)      Os Tibia
Termasuk tulang panjang yang terdiri atas 3 bagian yang terdiri dari : epiphysis proximal, diaphysis dan epiphysis distalis. Epiphysis proximal terdiri dari 2 bulatan yang disebut condylus medialis dan condylus lateralis. Di sebelah atasnya terdapat dataran sendi yang di sebut facies articularis superior dan tepi atas epycondilus ini melingkar disebut margo infraglenoidalis. Diaphysis pada penopang merupakan segitiga dengan basis menghadap ke depan. Ada 3 sisi yaitu margo anterior, margo medialis dan crista interozea di sebelah lateral. Sedangkan ke arah medial epiphysis distalis menonjol di sebut malleolus medialis. Malleolus medialis memiliki 3 dataran sendi yaitu facies articularis malleolaris (vertical), facies articularis inferior         (horizontal), incisura fibularis (cekung) (Susilowati, 2002).
3)      Os Fibula
Merupakan tulang berbentuk kecil dan langsing yang terletak di sebelah tulang tibia bagian luar. Tulang ini terdiri dari 3 bagian yaitu : epiphysis proximalis, diaphysis dan epiphysis distalis. Epiphysis proximal membulat disebut capitulum fibula yang ke proximal meruncing menjadi apex capitulum fibula. Pada capitulum terdapat dua dataran yang di sebut facies articularis capituli fibula untuk bersendi dengan tibia. Diaphysis mempunyai 4 crista yaitu crista lateralis, crista medialis, crista anterior, dan crista posterior. Epiphysis distalis ke arah lateral membulat disebut malleolus lateralis.
Hubungan antara tulang – tulang di atas membentuk suatu sendi yaitu tulang fémur dan patella di sebut articulatio patello femoralis, hubungan antara tulang tibia dengan fémur disebut articulatio tibiofemoralis, hubungan antara tulang tibia dengan fibula disebut articulatio tibiofibularis yang secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai articulatio knee/knee joint atau sendi lutut                (Susilowati, 2002).
4)      Os Patella
Tulang patella merupakan tulang berbentuk segitiga dengan basis menghadap ke proximal dan apex ke arah distal. Dataran muka berbentuk konvek dan dataran belakang mempunyai dataran sendi yaitu facies articularis lateralis yang lebar  dan facies articularis medialis yang sempit (Susilowati, 2002).













 
















Gambar 1.1
 Tulang pembentuk sendi lutut (Carola, 1990)


Keterangan Gambar 1.2 :
1.      Trochanter major
2.      Fossa trochanterica
3.      Collum femoris
4.      Fovea capitis femoris
5.      Caput femoris
6.      Collum femoris
7.      Linea intertrochanterica
8.      Trochanter minor
9.      Corpus femoris
10.  Tuberculum adductorium
11.  Apicondylus medialis
12.  Facies patellaris
13.  Epicondylus lateralis













 
















Gambar 1.2
Tulang Femur tampak dari depan (Sobotta, 2006)


Keterangan Gambar 1.2 :
14.  Trochanter major
15.  Fossa trochanterica
16.  Collum femoris
17.  Fovea capitis femoris
18.  Caput femoris
19.  Collum femoris
20.  Linea intertrochanterica
21.  Trochanter minor
22.  Corpus femoris
23.  Tuberculum adductorium
24.  Apicondylus medialis
25.  Facies patellaris
26.  Epicondylus lateralis












 
















Gambar 1.3
Tulang Femur tampak dari belakang (Sobotta, 2006)


Keterangan Gambar  2.3
1.      Fovea capitis femoris
2.      Caput femoris
3.      Trochanter major
4.      Tuberculum quadratum
5.      Crista intertrochanterica
6.      Trochanter tertius
7.      Tuberositas glutea
8.      Labium laterale
9.      Labium mediale
10.  Linea supracondylaris lateralis
11.  Linea supracondylaris medialis
12.  Facies poplitea
13.  Epicondylus lateralis
14.  Condylus lateralis
15.  Fossa intercondylaris
16.  Linea intercondylaris
17.  Condylus medialis
18.  Tuberculum adductorium








 











Gambar 1.4
Tulang Tibia dan Fibula tampak dari belakang (Sobotta, 2006)


Keterangan Gambar 1.4 :
1.      Caput fibulae
2.      Corpus fibulae
3.      Sulcus maleollaris
4.      Corpus tibiae
5.      Linea musculusolei





 







Gambar 1.5
Permukaan Anterior Patella





1
 



 






Gambar 1.5
Permukaan Posterior Patella

Keterangan gambar 1.5 :
1.      Basis patellae
2.      Apex Patellae

b.      Anthrologi
Hubungan antara tulang – tulang pada sendi lutut membentuk 3 persendian yaitu : (1) articulatio patello femorale di bentuk oleh tulang patella dan fémur, (2) articulatio tibiofemorale di bentuk oleh tulang tibia dan femur,  (3) articulatio tibiofibulare dibentuk oleh tulang tibia dan fibula.

c.       Sistem Capsule Ligamenter
Pada sendi lutut sistem capsule ligamenter berfungsi sebagai stabilisator sendi – sendi . pada umumnya gerakan sendi lutut sangat ditentukan oleh bentuk permukaan sendi dan kekuatan dari ligamentumnya. Adapun ligamen yang memperkuat sendi lutut adalah :
1)      Ligamentum Cruciatum Anterior
            Berjalan dari depan eminentia intercondyloidea tibia ke permukaan medial condylus lateralis femur yang berfungsi menahan hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke depan.
2)      Ligamentum Cruciatum Posterior
            Berjalan dari facies lateralis condylus medialis femur menuju ke fossa intercondyloidea tibia yang berfungsi menahan bergesernya tibia ke belakang.
3)      Ligamentum Collateral Lateral
               Berjalan dari epycondilus lateralis ke capitulum fibula yang berfungsi menahan gerakan varus ke samping luar.


4)      Ligamentum Collateral Medial
            Berjalan ke epycondilus medialis ke permukaan medial tibia yang berfungsi menahan gerakan valgus.
5)      Ligamentum Popliteum Obliqum
               Berasal dari lateralis femur menuju insertio otot semimembranosus, melekat pada fascia musculus popliteum yang berfungsi sebagai penguat dari starum fibrosum ligamentum transversum genu. Membentang pada permukaan anterior meniscus medialis dan lateralis (Platzer, 1983).

d.      Sistem Capsule Sendi
            Kapsul sendi terdiri dari 2 lapisan yaitu : (1) stratum fibrosum, yang merupakan lapisan luar yang bersifat sebagai penutup/selubung. Berada di sebelah proksimal melekat pada femur, tepat proksimal terhadap batas – batas articular kedua condylus dan pada fossa intercondylaris di sebelah belakang. Di sebelah distal melekat pada batas articular tibia. (2) Stratum synovial, merupakan lapisan dalam yang memproduksi cairan synovial untuk melicinkan sendi lutut. Kapsul sendi termasuk jaringan fibrosis yang avaskular sehingga jika cedera sulit untuk proses penyembuhannya. Stratum synovial melipat balik dari bagian posterior sendi ke ligamentum cruciatum anterior dan posterior, sehingga menutupi corpus adiposuminfra patellare (Moore and Agur, 1995).


e.       Jaringan Lunak
1)      Meniscus
            Meniscus sendi lutut adalah meniscus medialis dan lateralis. Meniscus medialis lebih  banyak hubungannya dengan tibia dari pada meniscus lateralis. Fungsi dari meniscus adalah : (1) penyebaran pembebanan, (2), peredam kejut, (3) mempermudah gerakan rotasi, (4) mengurangi gerakan, dan (5) stabilisator setiap ada penekanan akan diserap oleh meniscus sendi lalu diteruskan ke sebuah sendi (Moore and Agur, 1995).
2)      Bursa
                                          Merupakan kantong yang berisi cairan yang memudahkan terjadinya gesekan, gerakan, berdinding tipis, dan dibatasi oleh membrane synovial. Bursa pada sendi yang  berguna sebagai absorbser yaitu bursa supra patellaris, pra patellaris, dan bursa infra patellaris superficial dan profundus. Gangguan sendi lutut ditentukan oleh bentuk permukaan sendi dan kekuatan otot serta ligamen (Moore and Agur, 1995).

















Gambar 1.5
 Ligamen lutut pandangan anterior (Sobotta ,2006)

Keterangan gambar 1.5:
1.        Ligamentum cruciatum posterior
2.        Ligamentum cruciatum anterior
3.        Ligamentum transvertum genus
4.        Ligamentum capitis fibulae
5.        Meniscus lateralis














Gambar 1.6
 Ligamen pada sendi lutut dilihat dari depan  (Sobotta, 2006)

Keterangan gambar 1.6
1.      Ligamentum popliteum obliqum
2.      Ligamentum collateral tibiae
3.      Ligamentum collateral fibulare
4.      Ligamentum popliteum arcuatum

f.       Sistem Otot
Disini penulis ingin membahas tentang otot-otot yang bekerja pada sendi lutut termasuk didalamnya pelekatan dan persyarafan serta fungsi dari otot tersebut.
1)      Bagian anterior adalah m.rektus femoris, m.vastus lateralis, m. vastus medialis, dan m. vastus intermedialis.
2)      Bagian posterior adalah m. bicep femoris, m. semitendinosis, m. semi membranosis,  dan m. gastrocnemius.
3)      Bagian medial adalah m. sartorius dan m. gracilis.
4)      Bagian lateral m. tensorfacialatae.

Tabel 1.1 Otot penggerak sendi lutut (Snell, 1993)
No
Nama otot
Origo
Insertio
Innervasi
Fungsi

Bagian anterior




1
m. rectus femoris
SIAI superior asetabulum

patella
n. femoris L 2-4
Extensi sendi lutut
2
m. vastus lateralis
Dataran lateral dan anterior trochanto mayor femoris labium lateral linia aspera

Lateral os patella
n. femoris L 2-4
Extensi sendi lutut
3
m. vastus medialis
Labium medialis linea aspera

Setengah bagian atas os.



n. femoris L 2-4
Extensi sendi lutut
4
m. vastus intermedialis
Dataran anterior corpus femoris
Tuberositas tibia

n. femoris L 2-4

Extensi sendi lutut

Bagian posterior




5
m. bicep femoris
Tuber ischiadicum
Fibula bagian lateral dan caput brevis, pada labium laterale linea aspera

n. peroneus communis Condilus laterale tibia 
Exorotasi sendi lutut
6
m. semi tendinosus
Tuber ischiadicum
Condylus medialis tibia 
n. tibialis
Flexi dan endorotasi sendi lutut

7
m. semi membranosus
Tuber ischiadicum
Condylus medialis tibia 
n. tibialis
Flexi dan endorotasi sendi lutut

8
m. gastrocnemius
Caput medial pada condylus medialis femoris
Posterior calcaneus
n. tibialis S 1-2
Flexi sendi lutut


Bagian medial




9
m. sartorius
SIAS
Tuberositas tibia
n. femoralis L 2-4
Flexi external rotator sendi lutut

10
m. gracilis
Ramus inferior os pubis dan os ischcii
Tuberositas tibia dibelajang tendon m. sartorius

n. femoralis L 2-4
Flexi internal rotator sendi lutut

Bagian lateral




11
m. tensor fecialatae
SIAI dan fasialatae
Tracus illio tibialis
m. gluteus superior cabang n. femoralis L 4-5 L 1-2

Flexor abductor, internal rotasi



















 
















Gambar 1.9
 Otot sendi lutut dilihat dari (a) depan, (b) belakang  (Sobotta, 2006)


Keterangan gambar 1.9.(a)
1.                  Spina iliaka superior anterior
2.                  M. Tensor fasialatae
3.                  M. Rectus femoralis
4.                  M. Vastus lateralis
5.                  Patella
6.                  Ligament patella
7.                  M. Perroneus longus
8.                  M. Tibialis anterior
9.                  M. perroneus brevis
10.              M. Ekstensor digitorum longus
11.              M. Extensor hallucis longus
12.               Ligamen crusiatum
13.              M.  Extensor digitorum komunis longus
14.              M.  Extensor hallucis brevis
15.              M.  Soleus
16.              M.  Tibialis, tendo
17.              M. Gastroeknemius
18.              M. Vastus medialis
19.              M. Sartorius
20.              M. Gracillis
21.              M. Adduktor longus
22.              M. Prektinus
23.              M. Illiopsoas

Keterangan gambar 1.9 (b)
1.      M. Gluteus medius
2.      M. Gluteus maksimus
3.      M. Traktus illiotibial tendo
4.      M. Semitendinosus
5.      M. Bisep femoralis
6.      M. Bisep femoralis caput minus
7.      M. Gastrocnemius
8.      M. Soleus
9.      M. Fibularis ( perroneus ) longus
10.  M. Fibularis ( perroneus ) brevis
11.  M. Tendo calcaneal ( Achilles )
12.  M. Tendo bisep femoris
13.  M. Traktus illiotibial tendo
14.  M. Adduktor magnus
15. M. Bisep femoris








g.      Sistem Saraf
1)      Sistem saraf tungkai atas
Sistem persarafan tungkai atas berasal dari plexus lumbalis dan sacralis. Pada otot-otot sekitar tungkai atas di sarafi oleh beberapa saraf yaitu:
a)      Nervus Femoralis
Nervus femoralis merupakan cabang yang terbesar dari plexus lumbalis. Nervus ini, berasal dari 3 bagian posterior plexus, yang asalnya dari nervus lumbalis kedua, ketiga, dan keempat. Nervus ini, muncul dari tepi lateral m. psoas tepat di atas ligamentum pouparti dan berjalan turun di bawah ligamentum ini, untuk memasuki trigonum femoralis pada sisi lateral arteri femoralis. Pada trigonum tersebut, nervus femoralis membagi diri menjadi cabang-cabang terminalis. Cabang-cabang motorik di atas ligamentum inguinalis mempersarafi m. sartorius, m. pectineus, dan m. quadriceps femoris. Cabang-cabang sensorik mencakup cabang cabang cutaneus femoralis anterior yang menuju permukaan anterior dan medial paha serta nervus saphenous yang menuju sisi medial tungkai dan kaki (Chusid, 1983).
b)      Nervus Obturatorius
Nervus obturatorius berasal dari plexus lumbalis (L2, L3, L4), dan muncul pada tepian m. psoas di dalam abdomen. Nervus ini berjalan ke depan dan ke bawah pada dinding lateral pelvis untuk mencapai bagian atas foramen obturatorius, dan pada bagian ini pecah menjadi divisi anterior dan posterior. Divisi anterior memberi cabang-cabang muscular pada m. gracillis, m. adduktor brevis, dan m. adduktor longus (Chusid, 1983).
c)      Nervus Gluteus Superior dan Inferior
Nervus gluteus superior (L5, S1, dan S2) adalah pelaku nervus sacralis yang berjalan di atas m. piriformis melalui foramen ischiadicus mayor ke dalam otot- otot pantat, dimana serabut saraf ini, menyuplai m. gluteus medius, gluteus minimus, serta m. tensor facia latae.
Nervus gluteus inferior (L5, S1, dan S2) adalah cabang dari plexus sacralis yang berjalan dibawah m. piriformis melalui foramen ischiadicus magnus ke gluteus maksimus (Chusid, 1983).
d)      Nervus Ischiadicus
Nervus ischiadicus merupakan serabut saraf yang terbesar di dalam tubuh. Nervus ischiadicus adalah cabang dari plexus sacralis (L4, L5, S1, S2, dan S3), saraf ini meninggalkan regio glutealis dengan berjalan ke bawah melewati foramen ischiadicus mayor dan turun antara throcantor mayor dan turun diantara throcantor mayor os. Fémur dan tuberositas ischiadica, sewaktu turun sampai pertengahan paha saraf ini pada bagian posteriornya ditutupi oleh tepian m. bíceps femoris dan m. semimembranosus yang berdekatan. Ia terletak pada aspek posterior m. adduktor magnus dan pada sepertiga bagian bawah paha. Nervus ischiadicus berakhir dan bercabang menjadi dua percabangan, yaitu n. tibialis dan n. peroneus communis pada daerah poplitea. Cabang-cabangnya pada paha mempersarafi m. Hamstring (meliputi m. semimembranosus, m. semitendinosus, dan m. bíceps femoris)        (Chusid, 1983).
2)      Sistem saraf tungkai bawah
a)      Nervus Peroneus Communis
Nervus ini merupakan cabang dari segmen bawah (L4, L5, dan S1, S1). Nervus ini merupakan cabang maupun componen dari nervus ischiadicus sampai sejauh bagian atas ruang poplitea. Dari sini, serabut saraf ini memulai perjalanan yang bebas turun disepanjang garis posterior muscle bíceps femoralis, lalu menyilang diagonal pada dorsum sendi lutut menuju bagian luar atas tungkai dekat dengan caput fibula dan berjalan terus ke bawah diantara m. peroneus longus dan tulang tibia (Chusid, 1983).
b)      Nervus Tibialis
Nervus tibialis dibentuk oleh seluruh 5 bagian anterior plexus sacralis yaitu L4-5, S1-3. nervus tibialis adalah cabang terminal dari n. ischiadicus yang lebih besar pada sepertiga bawah pada bagian belakang. Nervus ini naik melalui fossa poplitea dan berjalan di sebelah dalam m. gastrocnemius dan m. soleus. Ia terletak pada permukaan posterior m. tibialis posterior, dan bagian lebih bawah dari tungkai bawah., pada permukaan posterior tibia. Saraf ini menyerupai perjalanan arteri berjalan di belakang malleolus medialis, diantara tendo m. fleksor digitorum longus dan m. flexor hallucis longus. Saraf ini ditutupi oleh retinaculum flexorum dan bercabang menjadi n. plantaris medialis dan laterales (Chusid, 1983).
c)      Nervus Peroneus Profundus
Nervus ini berjalan di lateral capitulum fibulae menembus septum intermusculare anterius kemudian membelok ke medial distal kemudian berjalan diantara m. tibialis anterior dengan m. extensor digitorum longus dan brevis, serta m. extensor hallucis menuju spatium introsum pertama. Cabang-cabangnya antara lain : 1) ramus musculares, mensarafi m. tibialis anterior, m. extensor digitorum longus, dan m. hallucis, 2) ramus articularis, mensarafi sendi talocrularis, 3) nervus digitalis dorsalis pedis medialis menuju jari pertama dan kedua (Chusid, 1983).
d)      Nervus Peroneus Superficialis
Nervus ini berjalan ke distal ditutupi oleh m. Peroneus longus, mula-mula di sebelah lateral anteriornya musculusperoneus brevis yang akhirnya menembus facia cruralis pada pertengahan tungkai bawah dan di sini pecah menjadi dua bagian nervus cutaneus dorsalis pedis intermedius cabang baru kemudian untuk berjalan di luar facia pada dorsum pedis menuju basis keempat pada nervus cutaneus dorsalis pedis medialis berjalan drastis diantara facia cruris ke medial menuju dorsum pedis yang akhirnya bercabang menjadi dua yaitu medial dan lateral.



h.      Sistem Pembuluh Darah
Di sini akan dibahas sistem pembuluh darah dari sepanjang tungkai atas sampai tungkai bawah yaitu : pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena. Evelyn (1997) menyebutkan sistem pembuluh darah yang melayani tungkai atas dan tungkai bawaah antara lain :
1)      Pembuluh darah arteri
a)      Arteri femoralis
Arteri femoralis berjalan melintasi sisi medial paha dan sepertiga bawah paha, arteri ini berjalan di belakang sendi lutut.
b)      Arteri poplitea
Arteri popletia berjalan melalui canalis adduktoris ke fossa poplitea pada sisi lutut, arteri ini akan bercabang menjadi arteri tibialis posterior dan arteri tibialis anterior.
c)      Arteri tibialis anterior
Arteri tibialis anterior terletak disebelah bagian anterior otot betis, dan menembus membrana interosea pada tulang tibia dan berjalan melintasi lekukan pergelangan kaki.
d)      Arteri tibialis posterior
Arteri ini berjalan ke bawah di belakang tibia, terletak disebelah dalam otot tungkai bawah. Arteri ini masuk ke dalam kaku melalui sebelah belakang malleolus di bawah jaringan retinakulum pergelangan kaki.



2)      Pembuluh darah vena
a)      Vena savena magna
Vena ini adalah vena yang paling besar dan paling panjang. Berawal dari sebelah medial dorsum kaki dan menerima cabang-cabang vena dari daerah ini. Kemudian berjalan ke atas di sebelah medial tungkai di belakang lutut untuk muncul kembali kedepan menembus facia dalam di lubang vena.
b)      vena savena parva
Vena ini kecil dan pendek, mulai dari sisi lateral berjalan di belakang malleolus lateralis dan melalui betis tungkai ke arah lutut . Cabang-cabang dari kaki dan dari bagian belakang tungkai diterima dan akhirnya menembus facia didalam daerah poplitea untuk bergabung dengan vena poplitea.













 

















Gambar 1.10
 Pembuluh darah arteri pada sendi lutut (Sobotta, 2006)


Keterangan gambar 1.10
1.      Arteri Femoralis
2.      Arteri  Poplitea
3.      Arteri  Tibialis anterior
4.      Arteri  Fibularis
5.      Arteri Dorsalis pedis
6.      Arteri  Metatarsalies dorsales
7.        Arteri Plantar medialis




















 

















Gambar 1.11
  Pembuluh darah vena pada sendi lutut (Sobotta, 2006)


Keterangan gambar 1.11
1.      Vena Femoralis
2.      Vena Profunda femoralis
3.      Vena Saphena magna
4.      Vena  Fibularis
5.      Vena Dorsalis pedis
6.      Vena Metatarsalis dorsalis
7.      V ena Plantar medilis
8.      Vena Tibialis
















2.      Biomekanik
Biomekanik adalah ilmu yang mempelajari mekanisme atau gaya yang bekerja pada otot, tulang dan sendi. Pada tubuh manusia terdapat 3 bidang gerak yaitu : (1) bidang sagital, ialah bidang ventral yang membagi tubuh menjadi dua bagian kanan dan kiri. (2) bidang frontal, ialah bidang yang membagi tubuh menjadi depan dan belakang , (3) bidang horizontal atau bidang transversal  adalah bidang yang membagi tubuh menjadi bagian atas den bagian bawah (Kapandji, 1990).
Biomekanik di batasi pada komponen-komponen kinematis, di tinjau dari dari segi gerak secara ostheokinematika dan orthokinematika.
a.      Ostheokinematika
Sendi lutut dapat diklasifikasikan dalam sendi ginglymus (hinge modifiet) karena sendi lutut mempunyai fungsi seperti sebuah sendi pintu. Luas gerak fleksinya cukup besar. Ostheokinematikanya yang mungkin terjadi adalah gerakan fleksi, ekstensi, internal rotasi dan eksternal rotasi.
1)      Aksis gerakan
Aksis gerakan fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi yaitu melewati condylus femoralis. Sedangkan aksis gerakan rotasinya longitudinal pada daerah condylus femoris (Parjoto, 2000).
2)      Gerak fleksi
Penggerak gerakan fleksi lutut adalah otot otot hamstring yang terdiri dari biceps femoris, semi tendinosus, dan semi membranosus. Selain oleh otot–otot hamstring, gerakan fleksi juga dibantu oleh kerja otot gastrocnemius, popliteue, dan gracillis.
Lingkup gerak sendi pada gerakan fleksi berkisar antara 13– 140 derajat. Gerakan fleksi dibatasi oleh kontaknya otot–otot pada jaringan lunak pada tumit dan bagian posterior paha. Yang berperan sebagai fiksator dalam gerakan fleksor lutut adalah kontraksi otot– otot iliocostalis  dan quadratus lumborus serta berat paha dan pinggul              (Parjoto, 2000).
3)      Gerak ekstensi
Penggeraknya adalah otot–otot quadriceps yang terdiri dari 4 otot yaitu:  rectus femoris, vastus medialis, vastus lateralis, dan vastus intermedius. Lingkup gerak ekstensi yaitu 5–10 derajat hiperekstensi atau 0 derajat. Gerakan ekstensi dibatasi oleh ketegangan kapsul, ketegangan ligamentum, dan ’’twisting’’ ligamen. Yang bertindak sebagai fiksator dalam gerakan ekstensi lutut adalah kontraksi dari     otot–otot perut bagian depan serta berat dari paha dan panggul              (Parjoto, 2000).
4)      Gerakan Rotasi Internal
Karena permukaan sendi lutut ’’incongruen’’ dalam berbagai posisi kecuali pada saat ekstensi penuh dan karena sifat meniscus yang semi mobil, maka sendi lutut dapat bergerak rotasi dalam bidang transversal. Gerakan rotasi sendi lutut dapat dilakukan dengan mudah baik secara aktif maupun pasif saat sendi lutut dalam posisi fleksi.
Gerakan rotasi internal terjadi sewaktu gerakan awal fleksi        (15–20˚) yaitu rotasi internal tibia terhadap femur. Penggeraknya adalah otot popliteus, otot gracillis dibantu oleh otot hamstring bagian dalam (Parjoto, 2000).
5)      Gerakan Rotasi Eksternal
Gerakan ini terjadi saat gerakan ekstensi mendekati akhir gerakan (15–20˚) yaitu tibia terhadap femur. Penggeraknya adalah otot biceps femoris dan tensor facialata (Parjoto, 2000).

b.      Orthokinematika
Pada permukaan penggerak sendi lutut, yang sering terjadi meliputi gerak sliding dan rolling, maka di sini berlakulah hukum konkaf konvek. Hukum ini menyatakan bahwa ’’jika permukaan sendi cembung (konvek) bergerak pada sendi yang cekung (konkaf), maka gerakan sliding dan rolling saling berlawanan, dan jika permukaan sendi cekung (konkaf)  bergerak pada permukaan sendi cembung (konvek), maka gerakan slidding dan rolling searah. Orthokinematika yang mungkin terjadi adalah gerakan fleksi – hiperekstensi, eksorotasi – endorotasi, dan adduksi – abduksi.




















Gambar 2.12
Gerakan rolling dari os femur terhadap os tibia (Kapandji, 1987)

1)      Fleksi – hiperekstensi
Pada komponen gerakan fleksi akan terjadi gerakan roll pada femur terhadap tulang tibia. Karena bentuk condylus femoris yang konvek, maka terjadi gerakan roll ke ventral dengan translasi tulang tibia ke dorsal. Sedangkan pada komponen gerakan ekstensi, terjadi gerakan tulang tibia ke arah ventral.
2)      Eksorotasi – endorotasi
            Pada gerakan eksorotasi dan endorotasi dengan posisi lutut maksimum 90 derajat, maka akan terjadi gerakan memutar.       



3)      Adduksi – abduksi
            Pada gerakan adduksi akan terjadi gerakan tibia roll dan slide ke radial, sedangkan pada gerakan abduksi akan terjadi roll dan slide tibia ke lateral sedikit ke proksimal (Tajuid, 2000).

c.       End Feel
Sejumlah gerakan pasif yang disebabkan dari struktur persendian dengan pemeriksaan. Beberapa sendi memiliki struktur, sehingga capsule menjadi terbatas pada akhir dari gerakan, dimana gerakan lainnya terbentuk sehingga ligamen membatasi akhir dari gerakan sendi, keterbatasan normal lainnya termasuk gerakan otot pasif, aproksimasi jaringan lunak dan kontak permukaan sendi (Norkin, 1995) .
End feel dari sendi lutut yaitu (1) pada gerakan fleksi biasanya end feel lunak, karena kontak otot betis bagian posterior dan otot pantat antara kaki dan pantat. End feel bisa menjadi keras karena adanya ketegangan otot vastus medialis, vastus lateralis, dan vastus intermedius. (2) Pada gerakan ekstensi, end feel terasa keras karena adanya ketegangan di daerah capsule sendi bagian posterior, ligamen oblique,popliteal arcuate, ligamen collateral, ligamen cruciatum anterior dan posterior       (Norkin, 1995) .





3.      Osteoarthritis (OA)
a.   Definisi
Osteoarthritis (OA) atau disebut juga dengan penyakit degeneratif adalah suatu kelainan pada cartilago (tulang rawan sendi) yang ditandai dengan perubahan klinis, histologi, dan radiologi. Penyakit ini bersifat asimetris, tidak meradang dan tidak ada komponen sistemik (Parjoto, 2000).
Osteoarthritis (OA) merupakan suatu kelainan pada sendi yang bersifat non inflamasi, tidak simetris, dengan perubahan patologi dan pada tulang rawan subchondral serta terjadi ketidakstabilan sendi, sehingga fungsi sendi berkurang (Ismiati, 2000).
Menurut American Rheumatism Association (ARA), OA diklasifikasikan menjadi 2, yaitu osteoarthritis primer disebabkan oleh idiopatik namun bisa juga karena herediter, OA ini adalah jenis yang paling sering ditemukan. Yang kedua yaitu osteoarthritis sekunder penyebabnya adalah (1) kelainan pertumbuhan  tulang sejak lahir, (2) penyakit metabolik, (3) trauma, (4) peradangan, (5) faktor endokrin.    (Low, 2000).
Beberapa faktor pemicu terjadinya OA meliputi
1)      Usia
Cartilago sebagai bantalan penahan tekanan semakin tua akan semakin kurang elastisitasnya (Sidharta, 1984). Prevalensi radiologik OA sendi lutut akan meningkat sesuai dengan umur. Pada umur di bawah 45 tahun jarang didapatkan gambaran radiologik yang berat. Pada usia tua gambaran radiologik OA sendi lutut yang berat mencapai 20 persen (Isbagio, 1995).
2)      Jenis Kelamin
Pada umumnya laki–laki dan wanita sama–sama bisa terkena OA sendi lutut tetapi setelah umur 45 tahun lebih banyak pada wanita (Moll, 1984).
3)      Kegemukan atau Obesitas
Menurut Maquet (1995), pada keadaan normal, berat badan akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi dengan otot – otot paha bagian lateral sehingga resultan gaya akan melewati bagian tengah sendi lutut. Pada obesitas, resultan gaya akan bergeser ke medial sehingga beban gaya yang diterima sendi lutut tidak seimbang. Pada keadaan yang berat dapat timbul perubahan bentuk sendi menjadi varus yang akan menggeser resultan gaya ke medial. Kelebihan berat badan 20 persen atau lebih dari berat badan normal akan menempatkan orang tersebut pada resiko OA sendi lutut (Merdikoputro, 2006). Untuk menentukan kegemukan tersebut dapat dicari dengan menggunakan  rumus BMI (Body Mass Indeks) yaitu BMI = Berat Badan (Kg)/Tinggi Badan (m)².
4)      Faktor hormonal/metabolisme
Perubahan degeneratif pada sendi lutut banyak ditemukan pada penderita diabetes mellitus (Hudaya, 2002).


5)      Faktor Genetik
Faktor genetik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya OA sendi lutut karena diperkirakan ada hubungannya dengan defek pembentukan serabut collagen, defek pembentukan proteoglikan atau hiperaktivitas chondrocyte, yang kesemuanya mempermudah timbulnya OA sendi lutut (Hudaya, 2002).
6)      Aktivitas Kerja
Pekerja yang banyak membebani sendi lutut, misalnya para pekerja yang banyak berjalan, berdiri lama, naik turun tangga, memanggul beban dan jongkok lama akan mempunyai resiko terserang OA sendi lutut lebih banyak dari pada pekerja yang tidak banyak membebani lutut (Isbagio, 1995).
7)      Trauma
Trauma berat pada sendi lutut di usia dini akan memicu munculnya OA sendi lutut lebih cepat. Pemakaian sepatu yang terlalu tinggi, sempit, berat, dan alas sepatu (sol) yang keras dan kurang lentur dalam waktu yang lama juga akan memicu timbulnya OA sendi lutut (Isbagio, 1995).
b.      Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab pasti OA belum di ketahui sampai saat ini, yang sudah di ketahui barulah faktor-faktor resikonya. Faktor resiko ini dapat di golongkan menjadi 2 kelompok yaitu yang tidak dapat di rubah dan yang mungkin di rubah. Faktor resiko yang tidak dapat di rubah meliputi jenis kelamin, usia, genetik dan ras. Penderita yang usia di bawah 50 tahun sebagian besar adalah pria, sedangkan di atas usia 50 tahun mayoritas adalah wanita. Komponen herediter di temukan pada 40-50% penderita yaitu berupa defek genetik dari gen kolagen tipe II. OA sendi lutut lebih banyak di derita oleh penduduk Asia khususnya pada wanita cina, bila di bandingkan di Amerika Utara. Faktor resiko yang mungkon di rubah meliputi cidera, obesitas, dan aktivitas berlebihan (overuse). Cidera merupakan faktor resiko yang sangat penting, robeknya meniscus dan ligamen krusiatum meningkatkan resiko OA 5-10 kali. Obesitas sudah lama di ketahui sebagai faktor resiko OA. Peningkatan indeks massa tubuh (IMT) sekitar 10 kg meningkatkan terjadinya OA sendi lutut sebesar 30%. Sedangkan IMT >30 kg memiliki resiko 20 kali lipat menimbulkan OA sendi lutut bilateral. Aktivitas berlebihan sangat erat kaitannya dengan cidera lutut, aktivitas jongkok, melompat/mendaki yang berulang-ulang meningkatkan resiko OA sendi lutut sampai 30%                      (www.mja.com).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap awal perkembangan OA, kartilago artikularis menjadi lebih tebal di bandingkan dengan normalnya, selanjutnya permukaan sendi akan menipis dan terjadi pelunakan kartilago hingga terjadi disrupsidan pembentukan retakan. Retakan pada permukaan sendi ini kemudian akan berkembang menjadi ulcer yang menembus jauh ke dalam tulang. Meskipun ada proses perbaikan kartilago namun hasilnya sangat minim dan tidak mampu mengatasi pembebanan mekanik yang terjadi. Pembebanan pada sendi menyebabkan kartilago menjadi hiposeluler atau berkurangnya kondrosit yang sangat penting bagi pemeliharaan kartilago. Akibatnya proses kerusakan kartilago semakin parah (Yasmin et al, 2007).
Proses degenerasi tersebut menyebabkan kartilago berubah menjadi tipis dan kasar. Perubahan ini berdampak pada penurunan kemampuan penyerapan pembebanan sehinga pembebanan yang di terima sendi akan langsung di teruskan ke tulang. Pembebanan pada tulang yang berlabihan akan di respon dengan peningkatan ke padatan pada ujung-ujung tulang. Reaksi lebih lanjut akan terjadi formasi osteofit pada ujung tulang (www.arthritis.ca, 2007).
Rasa nyeri pada OA di sebabkan oleh proses inflamasi yang terjadi di dalam sendi. Inflamasi ini dapat berasal dari robekan kartilago yang masuk ke dalam persendian atau akibat iritasi jaringan sinovial oleh osteofit. Proses inflamasi ini akan menghasilkan kimiawi pemicu nyeri yang akan mengaktivasi nosiseptor sendi. Selain itu, inflamasi akan menimbulkan pembengkakan sehingga meningkatkan tekanan intraartikuler. Peningkatan tekanan intraartikuler ini berperan dalam aktivasi nosiseptorsendi.
Menurut Parjoto (2000), pada OA sendi lutut terdapat proses degradasi, reparasi dan inflamasi yang terjadi dalam jaringan ikat, lapisan rawan, sinovium dan tulang subkhondral. Pada saat aktif  salah satu proses dapat dominan atau beberapa proses terjadi bersama dalam tingkat intensitas yang berbeda. Perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut:


1)      Sendi normal
Pada sendi yang normal, terdapat tulang rawan sendi                  (cartilage) yang sehat, terminyaki oleh cairan sinovial, bantalan sendi   (bursa), sehingga sendi mudah digerakkan.
2)      Degradasi tulang rawan
Degradasi timbul akibat dari ketidakseimbangan antara regenerasi dengan degenerasi rawan sendi, melalui beberapa tahap yaitu fibrilasi perlunakan, perpecahan dan pengelupasan lapisan tulang rawan sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat atau lambat, yang cepat waktu 10–15 tahun, sedangkan yang lambat 20–30 tahun. Akhirnya permukaan sendi tidak mempunyai lapisan tulang rawan sendi.
3)      Osteofit
Merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk memperbesar permukaan tulang dibagian bawah tulang rawan sendi yang telah rusak. Bersama timbulnya dengan degenerasi tulang rawan, timbul regenerasi, berupa pembentukan osteofit di tulang subkhondral. Dengan menambah luas permukaan tulang di bawahnya diharapkan distribusi beban yang ditanggung persendian tersebut dapat merata.
4)      Sklerosis subchondral
Pada tulang subkhondral terjadi reparasi berupa sklerosis (pemadatan atau penguatan tulang, tepat di bawah lapisan tulang rawan yang mulai rusak).

5)      Sinovitis
Sinovitis adalah  inflamasi dari sinovium dan terjadi akibat proses sekunder degenerasi dan fragmentasi. Matrik rawan  sendi yang  putus terdiri dari kondrosit yang menyimpan proteoglycan yang bersifat immunogenik dan dapat mengaktivasi leukosit. Sinovitis dapat meningkatkan cairan sendi. Cairan sendi lutut  mengandung bermacam-macam enzim akan tertekan ke dalam celah-celah tulang rawan. Ini mempercepat proses pengerusakan tulang rawan. Pada tahap lanjut terjadi  tekanan tinggi dari  cairan  sendi terhadap  permukaan  sendi  yang tidak mempunyai rawan sendi. Sehingga cairan ini akan  di desak ke dalam  celah-celah subkhondral dan akan  menimbulkan  kantong yang  disebut  kista  subkhondral (Parjoto, 2000).
c.   Tandan dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul bila sudah terjadi manifes pada OA lutut sebagai berikut :
1)      Nyeri
Nyeri merupakan keluhan utama yang menyebabkan orang mencari pengobatan. Beberapa penyebab langsung nyeri adalah sinovium, osteofit, kapsul sendi dan ligament periartikular direnggangkan oleh efusi, spasme otot dan persepsi nyeri individual (Tulaar, 2006). Nyeri muncul pada saat sendi lutut digerakkan dan sedikit berkurang setelah istirahat. Apabila penyakitnya bertambah buruk, maka nyeri dapat timbul meskipun dalam keadaan istirahat. Nyeri biasanya meningkat pada musim hujan/musim dingin (Merdikoputro, 2006).
2)      Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya muncul pada pagi hari atau setelah periode inaktif dan hilang setelah 15-30 menit (Isbagio, 2005).
3)      Keterbatasan LGS
Keterbatasan LGS diakibatkan adanya nyeri dan muscle spasme.  Keterbatasan LGS biasanya bersifat pola kapsuler, gerak fleksi lebih terbatas dari pada gerak ekstensi (Purbo Kuntono, 2005).
4)      Krepitasi
Krepitasi adalah bunyi yang mendesas apabila sendi digerakkan, hal ini disebabkan oleh permukaan sendi yang kasar dan serpihan-serpihan dari kartilago karena degenerasi (Purbo Kuntono, 2005).
5)      Kelemahan otot dan atrofi otot sekitar sendi lutut
Pasien OA mengalami kelemahan otot akibat tidak aktif, karena otot dapat kehilangan 30 persen massa dalam seminggu, serta 5 persen kekuatan dalam sehari apabila istirahat total (Tulaar, 2006).
6)      Bengkak
Pembengkakaan kadang-kadang ditemukan pada OA sendi lutut karena adanya pengumpulan cairan dalam ruang sendi, pada keadaan lanjut dapat ditemukan deformitas sendi lutut (Isbagio, 1995).

7)      Deformitas
OA sendi lutut yang berat akan menyebabkan destruksi kartilago, tulang dan jaringan.  Deformitas varus terjadi bila adanya kerusakan pada kompartemen medial dan kendornya ligamentum, serta variasi subluksasi karena perpindahan titik tumpu pada lutut atau diakibatkan oleh pembatasan adanya osteofit yang besar (Purbo Kuntono, 2005).
8)      Instabilitas sendi lutut
Instabilitas sendi disebabkan oleh berkurangnya kekuatan otot sekitar sendi lutut mencapai sepertiga dari otot normal dan juga oleh kendornya ligamen sekitar lutut (Purbo Kuntono, 2005).
d.      Gambaran Klinis Osteoathritis
                  Secara klinis, Osteoarthritis dibagi dalam 3 tingkatan, yaitu
1)      Sub Clinical Osteoarthritis
            Tidak ditemukan gejala atau tanda klinis. Hanya secara patologis dapat ditemukan:
1)      Pada tulang rawan sendi : peningkatan jumlah air, bulla atau blister, dan fibrilasi serabut – serabut jaringan ikat collagen
2)      Pada tulang subchondral : terjadi sclerosis
2)      Manifest Osteoarthritis
a)      Timbul keluhan nyeri pada saat bergerak dan rasa kaku pada permulaan gerak
b)     Terjadi kerusakan sendi yang lebih luas.
c)      Tampak penyempitan ruang sendi dan sclerosis tulang subchondral
3)      Decomposed Osteoarthritis
a)      Di sebut juga surgical state
b)     Timbul rasa nyeri pada saat istirahat dan keterbatasan lingkup gerak     sendi
c)      Terjadi akibat penyakit yang telah menjadi progresif dan seluruh tulang rawan sendi rusak. Tulang subchondral menjadi sangat sclerotik, pembentukan osteofit hebat, capsule sendi menjadi kendor, sehingga tampak deformitas yang jelas (Hudaya, 1996).
e.       Diagnosis Osteoarthritis
Diagnosis osteoarthritis menurut American College of Rheumatologi (2000) di tentukan berdasarkan kriteria berikut ini: (a) nyeri sendi yang berulang hampir setiap hari, (b) gambaran osteofit dalam pemeriksaan radiologis, (c) analisis cairan sendi positif osteoarthritis, (d) usia 40 tahun atau lebih, (e) kaku sendi di pagi hari selam kurang lebih 30 menit, (f) krepitasi dalam gerakan sendi. Diagnosis di tegakkan bila di temukan kriteria (a) dan (b) atau (a,c,e,f) atau (a,d,e,f) (Merdikoputro, 2006).

4.      Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang di sebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri. Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Walaupun nyeri merupakan salah satu dari gejala yang paling sering terjadi dibidang medis tetapi merupakan hal yang paling sedikit dipahami. Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Nyeri dapat merupakan faktor utama yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu penyakit.
a.      Definisi
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi yang disebabkan oleh stimulasi tertentu (Mahon, 1994).
Menurut The International Association For the Study of Pain              (IASP). Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi merusak jaringan. Definisi tersebut merupakan pengalaman subyektif dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami bahwa kesamaan penyebab tidak secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama (Meliana, 2004).
Nyeri sendi pada osteoarthritis sering dikeluhkan sebagai nyeri dalam, terlokalisasi di sendi yang terkena. Biasanya nyeri pada osteoarthritis diperberat oleh perkembangan penyakit nyeri tersebut menjadi menetap karena kartilago sendi tidak memiliki persyarafan, nyeri sendi pada osteoarthtritis berasal dari struktur lain. Nyeri bisa disebabkan oleh peregangan syaraf di periosteum yang menutupi osteofit dan bisa juga berasal dari fraktur di tulang subkondral atau hipertensi medularis yang disebabkan oleh gangguan aliran darah akibat penebalan trabekula subkondral. Kejang otot dan instabilitas sendi menyebabkan peregangan kapsul sendi juga dapat merupakan sumber nyeri (Brandt, 2000).
b.      Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1)      Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

2)      Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi (www.qittun.blogspot.com/2008/10/ konsep-dasar nyeri.html).
c.       Teori Nyeri
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007).
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005).
d.      Pengukuran Derajat atau Intensitas Nyeri
            Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
            Nyeri dapat diukur dengan berbagai skala antara lain skala VAS, VDS, Skala 5 tingkat, skala intensitas nyeri deskritif, skala intensitas nyeri numerik dan skala nyeri menurut bourbanis.
                  Dalam penelitian ini penulis melakukan pemeriksaan derajat atau intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis yaitu:

Description: Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0          :  Tidak nyeri  
1-3    : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan     baik.
4-6       : Nyeri sedang : secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9       : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10        : Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
5.      Terapi Latihan
Terapi Latihan adalah modalitas yang di gunakan untuk mengembalikan dan meningkatkan kapasitas muskuloskeletal atau kardiopulmuner dengan memanfaatkan gerakan anggota tubuh (Kisner, 2003).
            Aplikasi terapi latihan untuk penderita osteoarthritis seharusnya di mulai dengan latihan yang dapat meningkatkan kapasitas fungsional, baru kemudian mengarah ke kebugaran fisik sehingga penderita dapat beraktivitas tanpa keluhan nyeri dan tidak mudah lelah. Di awali dengan latihan fleksibilitas untuk mencegah kontraktur sendi kemudian di lanjutkan dengan latihan penguatan yang fokus pada gerak fungsional untuk meningkatkan daya tahan dan kecepatan kontraksi otot, serta dapat di lanjutkan dengan latihan aerobik (Sisto & Malangga, 2006).
Yang perlu diketahui pada terapi ostearthritis lutut adalah latihan yang tidak menyebabkan pembebanan yang berlebihan pada sendi lutut akibat weight bearing penuh. Dimana posisi aman untuk melakukan terapi latihan yaitu posisi duduk. Posisi duduk dapat dikatakan posisi istirahat sendi lutut, karena secara biomekanik tekanan garis weight bearing dari pusat caput femur tidak melalui pusat lutut sehingga beban yang ditimbulkan pada lutut minimal dan tidak menyebabkan nyeri (Kusumawati, 2003).Salah satu jenis terapi latihan adalah closed and open kinetic chain.
Closed and open kinetic chain
Latihan Rehabilitasi dapat diklasifikasikan ke dalam rantai kinetik tertutup (Close Kinetik Chain) dan kinetik rantai terbuka (Open Kinetik Chain) latihan. Latihan di Close Kinetik Chain dimodelkan sebagai tertutup hubungan mana gerakan di satu sendi secara bersamaan menghasilkan gerakan pada sendi lainnya dari ekstremitas tersebut. Latihan di Open Kinetik Chain mengisolasi salah satu link dari kinetik rantai dan segmen distal bebas untuk berpindah.
Open chain exercise dapat di lakukan pada posisi duduk atau tidur dengan melakukan gerakan fleksi dan ekstensi sendi lutut melawan beban (manual atau alat). Karena latihan beban pada penderita osteoarthritis berpotensi menimbulkan nyeri maka peningkatan berat beban di berikan secara bertahap sesuai toleransi penderita.
Closed chain exercise di lakukan pada posisi berdiri, latihan ini harus di lakukan dengan hati-hati karena sendi lutut menyangga berat badan. Untuk mengurangi pembebanan sendi maka latihan dilakukan pada posisi semi fleksi sendi lutut. Jenis latihannya antara lain adalah Quads dan wall sits. Teknik latihan ini mempunyai manfaat tambahan yaitu untuk melatih propioseptil sendi yang sering juga mengalami gangguan pada penderita osteoarthritis sendi lutut.








BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Fisioterapi Rawat Jalan RS Kustati Surakarta, dari bulan Februari sampai Mei 2011.

B.     Jenis Penelitian
1.      Pendekatan
Penelitian dilakukan dengan pendekatan studi kasus.
2.      Jenis
Jenis penelitian adalah quasi eksperimental dengan two group pre & post test with control design .
3.      Design Penelitian
Pre test                        Perlakuan        Post test
            Kelompok 1:   01                       X1                      03
            Kelompok 2:   02                       X2                      04
            Keterangan:
01: Nyeri sebelum mendapatkan intervensi yang di ukur dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis (pre test) pada kelompok intervensi open kinetik chain exercise.
02: Nyeri sebelum mendapatka intervensi yang di ukur dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis (pre test) pada kelompok intervensi close kinetik chain exercise.
X1: Intervensi open kinetik chain exercise.
X2: Intervensi close kinetik chain exercise.
03: Rasa nyeri sesudah mendapatkan intervensi open kinetik chain exercise yang di ukur dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis (post test).
04: Rasa nyeri sesudah mendapatkan intervensi close kinetik chain exercise yang di ukur dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis (post test).

C.     Teknik Pengambilan Sampel
1.      Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua penderita OA lutut yang mendapatkan tindakan terapi latihan di Rumah Sakit
2.      Sampel
Sampel penelitian di ambil secara purposive sampling dari populasi pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dan kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi meliputi pasien yang bersedia menjadi obyek penelitian, berusia 45-70 tahun (menurut setiyabudi 2006, insiden OA meningkat pada usia 35-80 tahun), tanpa komplikasi penyakit degeneratif lainnya, tidak menunjukkan tanda-tanda aktualitas tinggi, memenuhi kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatologi, mendapatkan 6 kali intervensi (perlakuan 2 kali perminggunya).
Kriteria eksklusi meliputi pasien menolak menjadi subyek penelitian, menderita komplikasi penyakit degeneratif lain, menunjukkan tanda-tanda inflamasi aktualitas tinggi, hanya mengikuti satu sesi terapi dalam seminggu, tidak menyelesaikan 6 kali intervensi.


D.    Instrument Penelitian
1.      Variabel
Dalam penelitian ini, terapi latihan di masukkan sebagai variabel bebas (independent) sedangkan nyeri akibat osteoarthritis sebagai variabel terikat (dependent).
2.      Defenisi Konseptual
a.      Nyeri
Nyeri di definisikan sebagai rasa sakit, sama dengan dolor (latin) atau algia (Ramali dan Pamoentjak, 2000).
b.      Osteoarthritis
Osteoarthritis adalah suatu penyakit sendi degeneratif terutama terjadi pada orang berusia lanjut dan di tandai dengan degenerasi progresif kartilago artikularis, perubahan membrana sinovial serta hipertrofi tulang pada tepinya (osteofit) ( cigp, 2006).
c.       Terapi Latihan
Terapi latihan adalah modalitas fisioterapi yang di gunakan untuk mengembalikan dan meningkatkan kapasitas muskuloskeletal atau kardiopulmoner dengan memanfaatkan gerakan anggota tubuh (Kisner, 2003).


3.      Definisi Operasional
a.      Nyeri akibat osteoarthritis sendi lutut adalah rasa sakit yang di alami penderita osteoarthritis sendi lutut saat bergerak atau setelah istirahat beberapa waktu, yang di ukur dengan menggunakan skala menurut bourbanis.
b.      Terapi latihan yang di berikan adalah latihan isotonik melawan tahanan dengan tekhnik open chain dan close chain sesuai dengan toleransi penderita.Latihan peregangan di lakukan dengan mengulur otot sampai panjang maksimal kemudian di pertahankan selama 30 detik (Deyle et al, 2000; Sadovsky, 2003; Sito & Malangga 2006). Penderita di minta mengulangi latihan tersebut di rumah sebagai home program sekali sehari.    
4.      Prosedur Pengukuran
Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri menurut bourbanis di lakukan dengan membuat garis lurus sepanjang 10 cm dan pada garis tersebut di berikan angka 0-10 pada setiap cmnya dengan keterangan (0) tidak nyeri, (1-3) nyeri ringan, (4-6) nyeri sedang, (7-9) nyeri berat terkontrol, (10) nyeri berat tidak terkontrol. Pasien di minta menunjuk angka pada garis tersebut untuk menunjukkan tingkat nyeri yang di rasakan oleh pasien. Pengukuran di lakukan sebelum terapi pertama dan setelah terapi ke enam.

Description: Skala nyeri menurut bourbanis
   Gambar skala nyeri menurut Bourbanis (www.qittun.blogspot.com/2008/10/ konsep-dasar nyeri.html).

E.     Teknik Analisa Data
Data hasil penelitian berupa nilai nyeri dalam skala nyeri menurut bourbanis di analisa menggunakan program SPSS 11.5 untuk mengetahui pengaruh terapi latihan open kinetik chain dan close kinetik chain terhadap penurunan nyeri penderita osteoarthritis sendi lutut grade II.
Hipotesis statistik untuk kelompok open kinetik chain exercise adalah (H0) tidak ada pengaruh open kinetik chain exercise dalam mengurangi nyeri osteoarthritis grade II dan (H1) ada pengaruh open kinetik chain exercise dalam mengurangi nyeri osteoarthritis sendi lutut grade II.
Hipotesis statistic untuk kelompok close kinetik chain exercise adalah (H0) tidak ada pengaruh close kinetic chain exercise dalam mengurangi nyeri osteoarthritis sendi lutut grade II dan (H1) ada pengaruh close kinetik chain exercise dalam mengurangi nyeri osteoarthritis sendi lutut grade II.
Hipotesis statik untuk mengetahui perbedaan kedua perlakuan adalah (H0) tidak ada perbedaan pengaruh antara open kinetik chain exercise dengan close kinetik chain exercise dalam mengurangi nyeri osteoarthritis sendi lutut grade II dan (H1) ada perbedaan pengaruh antara Open kinetik chain exercise dengan close kinetic chain exercise dalam mengurangi nyeri penderita osteoarthritis sendi lutut grade II.
Pengambilan keputusan di ambil berdasarkan nilai probabilitas dengan tingkat signifikansi 95% jika probabilitas >0,05 maka H0 diterima dan jika nilai probabilitas <0,05 maka H0 ditolak.